Tampilkan postingan dengan label Disadap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Disadap. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 November 2013

Hindari Disadap, Anggota DPR Tak Pakai Email untuk Kirim Pesan

VIVAnews – Isu penyadapan terhadap Indonesia oleh Amerika Serikat dan Australia menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Banyak anggota DPR yang sejak awal menjabat, sadar akan risiko disadap. Oleh sebab itu mereka melakukan sejumlah cara untuk menghindar dari aksi penyadapan.

Salah satu caranya adalah tak menggunakan fasilitas layanan email dari Google yakni Gmail dan Yahoo! yakni Ymail untuk mengirim data penting. Para anggota Dewan berpendapat, email merupakan teknologi yang amat memudahkan pekerjaan, tapi sekaligus rawan disadap. Dengan demikian mereka memilah-milah pesan apa yang bisa dikirim lewat email, dan mana yang tidak.

“Saya tahu mana-mana saja yang tidak harus dikirim lewat email,” kata anggota Komisi I Bidang Pertahanan dan Luar Negeri DPR Susaningtyas Kertopati. Politisi Hanura itu konsisten tak pernah menggunakan Gmail dan Ymail untuk berkirim pesan terkait pekerjaan penting.

Hal yang sama juga dilakukan anggota Komisi III Bidang Hukum DPR Bambang Soesatyo. Selama ini ia hanya menggunakan Gmail dan Ymail untuk mengirim rilis pers kepada wartawan. “Kalaupun ada yang menyadap juga tidak apa-apa, biar saja. Saya tidak khawatir karena aktivitas email saya hanya seputar pengiriman naskah ke berbagai media,” kata Bambang.

Sementara untuk memberikan data penting, Bambang biasanya bertemu langsung dengan orang yang membutuhkan data itu. Ia mengatakan, teknologi secangggih apapun rawan untuk disadap dan diretas. “Jadi lebih aman kembali pakai cara manual, pakai kurir,” kata politisi Golkar itu.

Email untuk anggota DPR sesungguhnya disediakan via dpr.go.id, namun fasilitas itupun tak digunakan oleh mereka. Bambang mengatakan tak tahu persis langkah Sekretariat Jenderal DPR untuk mengamankan data di DPR. Oleh sebab itu ia memilih cara manual.

Cara konvensional itu juga dipakai oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. “Untungnya saya ini orang yang gagap teknologi. Sampai sekarang saya masih mengandalkan kertas, pulpen, amplop, dan prangko. Lamban tapi lebih aman, Insya Allah,” kata dia.

Penyadapan terhadap Indonesia oleh AS dan Australia diungkapkan oleh mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) Edward Snowden, dan dilansir Sydney Morning Herald (SMH) pekan lalu. SMH menyebut ada pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan AS dan Australia di Jakarta.

Sementara harian Inggris The Guardian menulis bahwa Badan Intelijen Australia sudah menyadap Indonesia sejak tahun 2007 ketika RI menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua, Bali. Namun aksi penyadapan itu dianggap gagal meski sudah menghabiskan biaya dan waktu. (eh)


View the original article here

"Tugas BIN Cari Tahu Apa yang Disadap AS dan Australia dari RI"

VIVAnews - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menegaskan bahwa penyadapan tergolong kerja intelijen sehingga bersifat tertutup. Itulah sebabnya,  Australia tidak bisa memberi penjelasan yang terang benderang soal aksi spionase mereka.

Ditemui wartawan di Gedung DPR, Jumat 8 November 2013, Mahfudz mengatakan, Pemerintah RI seharusnya menggunakan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menjalankan kontraintelijen dan mencari tahu, data apa yang disadap Australia dan Amerika Serikat. Karena, "Ketika Menlu Marty memanggil Australia, ya mereka menjawab normatif," katanya.

Lebih lanjut dia menegaskan, isu sadap-menyadap ini sangat krusial, apalagi jika target penyadapan sampai ke warga sipil. "Dari urusan sumur, kasur, dapur masuk semua. Siapa yang bisa memberi garansi informasi itu tidak disalahgunakan?" tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera ini.

Namun, menurutnya, ada kendala teknologi untuk melakukan operasi kontraintelijen. Teknologi intelijen Indonesia, jelas Mahfudz, banyak berkiblat ke Eropa. Sementara negara sekaliber Jerman saja--tepatnya Kanselir Angela Merkel-- tak sadar disadap Amerika.


View the original article here