VIVAnews - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki Alie, mengatakan anggota dewan yang terkena kasus korupsi tetapi masih mendapat uang pensiun, merupakan kesalahan sistem dan adanya tekanan publik. Sehingga, anggota dewan yang baru terindikasi korupsi, mengajukan pengunduran diri.
"Itu kesalahan mekanisme, karena tekanan publik mereka mengajukan surat permintaan berhenti, padahal kasusnya masih berjalan dan belum inkracht (berkekuatan hukum tetap)," kata Marzuki dalam pesan singkatnya, Jumat 8 November 2013.
Sehingga, Marzuki melanjutkan, atas dasar itulah pemerintah membuat keputusan anggota dewan terindikasi korupsi itu diberhentikan dengan hormat dan mendapat pensiun.
"Sebetulnya kalau pemberhentian mereka itu atas dasar keputusan pengadilan yang sudah inkracht, maka mereka diberhentikan tidak dengan hormat dan tidak mendapat pensiun," kata dia.
Menurutnya, Badan Kehormatan (BK) DPR seharusnya bisa mengatasi masalah ini. Yaitu, dengan melakukan penyelidikan sendiri, apakah anggota dewan itu melanggar kode etik seperti korupsi. Jika terbukti melanggar kode etik, maka bisa langsung diberhentikan dengan tidak hormat tanpa menunggu keputusan inkracht pengadilan.
"Kalau terbukti melanggar kode etik, maka itu sudah menjadi dasar untuk memberhentikan dengan tidak hormat," ujar dia.
Marzuki mengatakan, DPR tidak bisa merevisi peraturan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menjadi anggota dewan yang mengundurkan diri karena kasus hukum otomatis tidak mendapatkan uang pensiun.
"Kasus hukum itu tidak disebut, dan belum ada keputusan hukum tetap, kita tidak boleh memvonis. Kuncinya di BK saja," ujar dia. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar